![]() |
www.google.com |
Bila musim labuh hujan tak turun/ kubasahi kau dengan denyutku/ bila dadamu kerontang/ kubajak kau dengan tanduk logamku/ di atas bukit garam/ kunyalakan otakku/ lantaran aku adalah sapi karapan/ yang menetas dari senyum dan air matamu/ aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan/ dan memetik bintang gemintang/ di ranting-ranting roh nenek moyangku/ di ubun langit kuucapkan sumpah: Madura, akulah darahmu.
UNTUK melengkapi tulisan ini, saya perlu mewawancarai D Zawawi Imron. Dari penyair, budayawan, yang juga seorang kiai itu, saya ingin menggali informasi seputar Madura pasca-Suramadu, khususnya dari sudut pandang kultural.
Zawawi adalah penyair dengan reputasi nasional, bahkan internasional.
Sejumlah karyanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda, dan Bulgaria. Meski demikian, ia lebih suka menetap di tanah kelahirannya, Desa Batangbatang, sekitar 20 km arah timur Sumenep, Madura.
Sebagai penyair yang lahir dan berproses di desanya, puisi-puisi Zawawi kental bernuansa Madura. Ia bisa dibilang mencintai Madura dengan sepenuh jiwa. Mengutip Jamal D Rahman, mantan Pemred majalah sastra Horison, cinta dan penghormatan Zawawi terhadap Madura melampui cinta dan penghormatannya kepada sang ibu. Puisi Madura, Akulah Darahmu di atas salah satu tengaranya.
Dari Surabaya, saya menelepon Zawawi. Saya berharap ia tengah berada di kota yang sama. Namun di ujung telepon, penyair yang acap mengenakan topi pet itu, mengatakan dirinya sedang berada di rumah. Sebenarnya saya ingin menyambanginya di Sumenep, namun mengingat jauhnya jarak serta keterbatasan waktu, wawancara terpaksa saya lakukan via telepon.
Proyek Suramadu, kata Zawawi, dapat dimaknai sebagai ikhtiar penyetaraan antara Jawa dan Madura. Selama ini ketimpangan dua wilayah terlihat dalam banyak hal, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Sadar atau tidak, ketimpangan itu memengaruhi sikap mental masyarakat Madura.
Zawawi memberi ilustrasi. Jika seseorang hendak menyeberang dari Madura ke Surabaya, orang Madura menyebutnya dengan onggha (naik). Sementara aktivitas sebaliknya disebut toron (turun). Onggha dan toron dua kata yang berlawanan. Hal itu menunjukkan posisi Surabaya atau Jawa yang secara kultural lebih tinggi dari Madura.
Zawawi berharap, pembangunan Jembatan Suramadu akan mengangkat Madura ke posisi yang setara dengan Jawa. Prinsipnya adalah membangun Madura, bukan membangun di Madura.
Saat ditanya seputar dampak buruk industrialisasi pasca-Suramadu, lelaki berjuluk “Si Celurit Emas” itu enggan berkomentar banyak. Menurutnya, proyek Suramadu adalah keniscayaan. Melawan sesuatu yang niscaya hanya akan memperuncing permasalahan. Maka dalam hal ini, ia memilih untuk berpikir positif.
Lebih baik, energi yang ada digunakan untuk bekerja, meningkatkan sumber daya manusia Madura agar siap menghadapi proses industrialisasi. Caranya dengan meningkatkan sarana-prasarana serta mutu pendidikan. Jenis pendidikan bisa bersifat praktis maupun manajerial. Terkait itu, Zawawi mengimbau kepada potensi-potensi Madura yang ada di luar turut berkontribusi.
Sementara, untuk mengantisipasi dampak buruk industrialisasi, orang Madura perlu memperkuat identitas kemaduraannya. Identitas kemaduraan, lanjut Zawawi, lebih merujuk pada nilai-nilai keislaman.
“Biarkan industrialisasi menjadi bagian dari Madura, tapi jangan sampai membuat masyarakat Madura menanggalkan kearifan budaya yang dimilikinya.”
Ya, meski seorang pembela budaya Madura yang gigih, Zawawi tak memandang industrialisasi sebagai hantu yang menakutkan. Menurutnya, industrialisasi di Madura pasca-Suramadu harus disikapi secara dewasa.
Potensi Konflik
Agak berbeda, Guru Besar Sosiologi Pembangunan Universitas Airlangga Prof Dr Mustain MSi yang saya temui di kampus FISIP Universitas Airlangga, menyorot potensi konflik yang mungkin terjadi di Madura pascaberoperasinya Jembatan Suramadu. Untuk mengungkapkan hal itu, ia menyampaikan pemaparan secara runut.
Menurut Mustain, mobilitas sosial akan terjadi pascapengoperasian Jembatan Suramadu. Akan terjadi perpindahan masyarakat dalam jumlah besar, terutama dari Jawa (Surabaya) ke Madura. Daerah-daerah di sekitar Kamal dan Pesanggrahan akan menjadi kawasan Surabayan.
Gejala itu sudah tampak sejak mencuatnya rencana pembangunan Jembatan Suramadu. Sudah ada investor, pengembang, atau pribadi yang berupaya membeli tanah-tanah di kawasan itu. Selain harga tanah yang masih murah, jaraknya juga relatif dekat dengan Surabaya.
Terlebih, Jembatan Suramadu terkoneksi dengan sejumlah ruas tol di Jawa Timur. Untuk menuju Bandara Djuanda, dari pesisir Bangkalan hanya butuh waktu kurang dari 30 menit.
Demografi sosial di Bangkalan bagian barat akan beranjak cepat. Harga tanah melonjak tajam, dan praktis kawasan itu akan menjadi tempat hunian pendatang yang berasal dari kalangan menengah. Sementara masyarakat lokal yang diasumsikan memiliki SDM rendah, tidak akan mampu bersaing.
Menurut teori sosiologi, ketika terjadi interaksi antara dua pihak, akan terjadi proses packing order. Siapa yang lebih kuat akan menjadi pihak yang dominan. Sejauh masih dalam tataran asosiatif hal itu tidak menjadi masalah.
Namun dalam proses berikutnya, cepat atau lambat akan terjadi konflik kepentingan. Warga lokal yang merasa punya hak atas wilayah, tentu tidak akan tinggal diam.
Untuk mengatasi hal itu perlu kebijakan yang bersifat kondusif.
Pemerintah dalam hal ini memegang peran strategis, yakni menciptakan situasi yang memungkinkan proses sosial itu berlangsung secara alamiah. Secara praksis, hal itu diwujudkan dalam serangkaian kebijakan pembangunan.
Antara lain membuat ketentuan tentang area perumahan, fasilitas umum, serta sarana dan prasarana publik. Jangan sampai pabrik dibangun di area permukiman.
Kebijakan yang baik mestinya didasarkan pada studi komperehensif. Pelu melakukan pemetaan sosial untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diinginkan masyarakat.
“Saya tidak tahu apakah dalam proyek Suramadu, proses itu telah berjalan. Tapi yang jelas, saya yang tercatat sebagai konsultan sosial budaya dalam proyek itu, sama sekali tidak pernah dilibatkan,” ujar Mustain.
Nasi memang sudah menjadi bubur, namun Mustain tak melihat adanya langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengantisipasi dampak sosial yang bakal terjadi pasca-Suramadu.
“Semestinya, jika proyek itu telah digulirkan sejak 10 tahun lalu, pemerintah segera melakukan persiapan. Jika itu dilakukan, niscaya masyarakat akan lebih siap menghadapi perubahan yang akan terjadi.”
Pada prinsipnya inovasi atau teknologi baru akan memengaruhi kehidupan masyarakat. Itulah mengapa keberadaan Jembatan Suramadu akan berdampak pada kehidupan masyarakat Madura. Apakah dampak yang timbul cenderung negatif atau positif, itu bergantung pada kemampuan mereka dalam merespons inovasi atau teknologi tersebut.
Sementara kemampuan merespons sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia. Kebijakan yang dilandasi studi komperehansif, ungkap Mustain, akan meminimalisasi dampak negatif, sekaligus mengoptimalkan dampak positif. (Rukardi-62)
www.suaramerdeka.com, Edisi 15 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar